Ditendang di Cikampek

Sebentar lagi bulan April, menuju kenaikan harga tiket kereta ekonomi jarak jauh (lagi). Saya nggak ngerti kebijakan apalagi yang dibikin pemerintah, setelah Maret memberlakukan kembali subsidi kereta ekonomi jarak jauh, lalu Aprilnya harga naik lagi, udah kayak Agung Podomoro Group. “Pesan sekarang! Minggu depan harga naik!” Apapun lah kebijakannya, positif aja ini buat kebaikan masyarakat juga.

Setelah baca berita tadi saya jadi inget kejadian-kejadian "manis" yang pernah saya alami di kereta. Let me share yaa…

Numpang nampang
Ditendang di Cikampek

Ini terjadi waktu saya dan beberapa temen jalan ke Jakarta. Saya adalah orang yang selalu mengingatkan mereka untuk jangan lupa membawa KTP. Tapiiii, waktu hari H keberangkatan malah saya sendiri yang teledor.
15 menit sebelum jam keberangkatan dari Solo, saya cek, KTP nggak ada di dompet! Bahkan saya lupa dimana saya taruh itu KTP. Mampus! SIM dan STNK sengaja saya tinggal di rumah. Nyuruh orang rumah buat nganter pun percuma, nggak bakal keburu. Pikiran udah panik nggak karuan. Bukannya karena saya nggak bakal bisa berangkat, tapi karena temen-temen bilang, “Kalau kamu nggak berangkat, kita juga nggak berangkat.” Means, masak iya gara-gara saya thok liburan mereka batal, padahal saya yang sering bawel ngingetin mereka.

Salah satu temen lalu mengusulkan buat ngajakin saya masuk duluan, terpisah dari rombongan. Kebetulan temen saya cowok, triknya biar kami berdua dikira pasutri jadi meskipun saya nggak bawa KTP nggak apa-apa karena ada suami yang nanggung. Hahaha… Dua tiket dan satu KTP di tangan temen saya, disodorkanlah ke petugas, dan benar saja….

“Ya udah nggak apa-apa, yang penting kode bookingnya sama. Lain kali jangan lupa lagi ya,” kata petugas sambil nyodorin tiket. Sampai ruang tunggu saya langsung legaaa bukan main.

Iklan. Olor is everything
Kepanikan nggak cukup sampai disini. Karena PP saya memakai kereta, otomatis perjalanan pulang dari Jakarta ke Solo ada pengecekan lagi. Kira-kira jam 22.00, antrian pintu masuk stasiun sudah panjang.

“KTPnya?” tanya mas-mas petugas yang mukanya judes abiiissss.
“Nggak bawa” jawab saya, agak panik.
“SIM?”
“Nggak bawa juga. Tadi waktu di Solo boleh kok masuk asal masih satu kode book”
“Nggak bisa, nama di tiket harus sesuai dengan identitas yang masih berlaku. Kalau nggak ada identitas yang sesuai dengan nama ini ya nggak bisa masuk,” kata Mas Petugas dengan nada tinggi kayak saya kalo lagi PMS.

Saya keluarin dompet, kali ini dengan super panik karena diintimidasi oleh wajah judes dan nada tinggi si Mas Petugas. Saya tahu dan sadar sepenuhnya keluarin dompet juga percuma karena KTP, SIM, STNK nggak bakal dengan ajaib tiba-tiba nongol.

“Adanya ini,” jawabku sambil menyodorkan fotocopyan SIM. Dalam hati bilang, yakali fotocopyan Ma, laku dijaminkan juga enggak, sambil rada-rada ngebegoin diri sendiri.
“Nggak bisa Mbak, harus asli. Paling nggak identitas yang ada nama sesuai di tiket”
“Lah tadi bisa kok waktu di Solo, kan masih satu kode book sama temen yang lain,” saya masih ngeyel sebisa mungkin. Jurus saya sekarang yang bisa diandalkan cuma ngeyel.
“Saya bisa aja kasih masuk Mbak, tapi paling ntar Mbak ditendang di Cikampek!” Masih dengan nada tinggi, ditambah dengan nada nyinyir menusuk, tajem dan pahit!

Glek! Level panik udah nggak bisa diukur. Mampus! Beneran nggak bisa pulang nih. Udah kebanyakan cuti, nggak mungkin bisa cuti lagi. Kerjaan gimana? Tiket dadakan juga nggak bakal dapet. Believe in miracle, saya kembali menyisir dompet, dan saya nemu ini….

You're my savior
“Nah ini ada,” kata Mas Petugas.

Sampai di ruang tunggu badan lemes bukan main. Saya jalan pelan sambil nggak henti-hentinya nyebut asmaul husna. Seriusan, TUHAN MAHA BAIK! Saya udah nggak bisa ngomong apapun selain Alhamdulillah terimakasih Ya Allah. Dan temen-temen pun ketawa. Diihhh… tetep ya, selalu ada yang berbahagia di atas penderitaan orang lain.


Berbagi Jamu

Kebetulan ada salah satu temen jalan saya yang bos jamu. Kemanapun kami pergi selalu dibawain jamu. Norak? Enggak lah. Yang lain bisa eksis dengan bekal Chivas JD di koper, kami juga bisa eksis dengan bekal jamu di kantong plastik. Keren? Iyalah, wong kita meskipun anak muda tetep melestarikan tradisi. *excuse*

Waktu itu di dalem kereta saya bersebelahan dengan rombongan keluarga dari Kediri. Pas saya buka botol beras kencur baunya tercium sampai ke Ibu sebelah. Beliau nengok lalu senyum. Iseng saya tawari lah sekalian.

“Beras kencur Bu, kerso?” (Beras kencur Bu, mau?)
“Nggih Mba maturnuwun. Tak pados gelas riyin.” (Ya Mba makasih, saya cari gelas dulu)
Setelah mencicipi si Ibu bilang, “Eco nggih Mba. Rasane kroso banget. Benten kalih jamu Kediri”

Party party dah sampe jackpot
Lalu segelas jamu itu di-forward-lah ke sodara yang lain. Endorsement lagi, ditawarkan ke sodara-sodara yang lain lagi, terus, sampai nambah beberapa gelas dan jadilah di kereta semacam pesta jamu. I miss this kind of situation :( 


Dilarang duduk selama saya selonjor!

Kejadian ini saya alami di kereta Prameks dari Jogja ke Solo. Waktu itu selesai interview kerjaan, masih dengan sepatu berhak, atasan kemeja putih dan celana kain hitam mirip kayak anak magang, saya lari ngejar kereta yang berangkat dari Stasiun Maguwo. Tepat setelah saya menginjakkan kaki di kereta, pintu tertutup, persis kayak adegan di drama-drama, bedanya disini nggak ada mas-mas maskulin yang ngejar saya dan gedor-gedor pintu kereta berharap terbuka biar bisa masuk dan meyakinkan saya untuk tidak pergi. Mweehh

Saya berjalan dari gerbong satu ke gerbong lain, sama sekali nggak ada tempat duduk kosong. Sampai mentok di gerbong terakhir, gerbong khusus wanita, di tempat duduk paling ujung saya lihat ada sisa tempat duduk yang masih bisa muat kira-kira 2 penumpang. Pas saya mau duduk, tiba-tiba ada Ibu-Ibu yang dengan santai mengangkat kakinya ke atas tempat duduk yang masih kosong tadi. Selonjor sodara-sodara!

Si Ibu bilang, “Tak pakai dulu ya Mbak.”
“Oh ya Bu silakan,” jawab saya.

Agak gondok sih, tapi asumsi saya, kata ‘dulu’ yang si Ibu sebutkan tadi mewakili kata ‘sebentar’. Jadi ya apa salahnya sih berdiri sebentar. Kali aja si Ibu kakinya sakit dan emang beneran butuh selonjor.

15 menit, 25 menit, sampai 45 menit berlalu, saya masih berdiri dan ngeliatin orang sekitar sampe bego, dan si Ibu masih selonjor sambil tidur. Pffftt… Posisi saya udah kepalang tanggung, mau jalan nyari tempat duduk lagi kaki udah nggak karuan rasanya, mau bangunin si Ibu kok ya gimana. Dan jadilah saya sepanjang perjalanan berdiri berdampingan dengan Ibu-Ibu yang tidur pulas dengan kaki selonjor. Sementara semua penumpang di gerbong ini duduk, kecuali saya. Alamakjang…

Sampai di Stasiun Purwosari, Si Ibu bangun sambil bilang sama temen sebelahnya, “Hooaahhmm… Enake sepuran iso turu slonjor ngene ki.” (Enaknya naik kereta bisa tidur selonjoran begini)

Kemudian saya keluar kereta sambil salto….

Emma

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Hehehe,
ternyata bukan hanya saya.
��