Saya pernah dapat tugas mendadak dari kantor untuk mendampingi tamu dari Medan, kebetulan pekerjaan beliau di Dishub dan berhubungan dengan IT. Ketika makan bersama, beliau bercerita banyak tentang pelatihan IT yang sering diikuti, sedikit banyak saya nyambung lah ya, meskipun lebih banyak keliatan begonya. Sampai pada suatu ketika tiba-tiba beliau bertanya,
“Mbak
bukan asli Solo ya?”
“Asli
Pak. Putri Solo saya”
“Kok
logatnya nggak lemah lembut kayak orang Solo?"
Ehmmm... bukan cablak ya, mungkin hanya kurang halus :)
"Lama di luar kota ya?”
"Lama di luar kota ya?”
“Wah
seumur hidup saya di Solo Pak nggak kemana-mana,”
“Oh… Habis gaya bicaranya beda, kayak udah kecampur. Trus ini batik yang dipakai batik Solo juga?”
“Oh… Habis gaya bicaranya beda, kayak udah kecampur. Trus ini batik yang dipakai batik Solo juga?”
Waktu itu
karena buru-buru, saya hanya memakai pakaian sekenanya. Outer blazer batik murahan monokrom
dan inner kaos putih dagadu. Iya, dagadu Jogja. Karena blazer saya beli di
Solo, asal saja saya jawab “iya”. Lalu si Bapak bertanya lagi “Bagus ya. Nama
motifnya apa? Saya pingin belikan buat istri.” And I feel like….. pengen ngilang
aja teleport kemana gitu karena malu ngaku orang Solo yang pakai batik Solo tapi nggak ngerti apa-apa.
Well, dari situ saya belajar, masa
bodoh dengan tempat tinggal sendiri ternyata bukan hal yang bagus untuk
pergaulan, apalagi wawasan. Sejak saat itu, saya tidak mau menjadi apatis
dengan tempat tinggal saya sendiri. Dulunya saya tidak peduli dengan event
budaya di Solo. Sebodo amat mau ada pertunjukan ini itu asal pagi kerja sore
pulang malem gogoleran aja udah kelar urusan hidup ga mau tau sama acara yang
disana-sana. Tapi sekarang, saya rutin mengecek akan ada event apa di bulan
depan. Bahkan nyimpen Calendar cultural event juga di handphone. Dampaknya, belakangan
jadi seneng posting apa-apa tentang Solo di blog. Hihiiw...
Event terbaru
di Solo bulan ini ada Bamboo Biennale di Benteng Vastenburg. Dibaca bi.en na:le, bukan binal :D
Adalah event
pameran instalasi bambu yang diadakan setiap dua tahun sekali. Biennale,
biennial, sekali dua tahun. Pameran bambu ini tidak asal-asalan. Ada tema
dan filosofinya.
Tahun 2014
adalah tahun pertama Bamboo Biennale terselenggara, punya tema BORN, melahirkan
kembali budaya bambu yang udah kegeser. Menjadikan bambu lahir kembali sebagai
produk kekinian. Terus di tahun ini dilanjutkan dengan tema HOPE, harapan untuk
orang-orang yang berjuang melestarikan kerajinan bambu. Banyak pihak yang ikut berpartisipasi dalam pameran ini. Mulai dari desainer, artisan, Industri Kecil Menengah, sampai UMKM, yang visi misinya sama, memperkenalkan kerajinan bambu terapan biar masyarakat pada ngeh kalau bambu masih hidup, syukur-syukur dari sini bisa menginspirasi untuk terjalin kerjasama bisnis.
Oh ya, Bamboo
Biennale ini juga didukung oleh BEKRAF loh. Tau BEKRAF kan? Itu, Badan
Ekonomi Kreatif, lembaga non kepemerintahan baru, yang sekarang jadi sahabatnya
seniman dan artisan
Waktu saya
cermati Bamboo Biennale ini nggak sekedar pameran kerajinan. Jadi kerajinannya
gede-gede, huge, lebih kepada instalasi, kayak ada arsiteknya gitu. Dan benar
saja, waktu saya baca di web resmi Bamboo Biennale, tahun ini mengambil sub-tema
shelter. Jadi karya yang ditampilkan harus bertema ruang, syaratnya di dalamnya
bisa dipakai untuk duduk, berdiri, berjalan, untuk desain interior pokoknya
harus jelas kegunaannya. Setiap karya juga pengerjaannya harus dengan workshop
yang nggak sebentar.
Bagi
yang sudah kesana pasti bisa ngerasain betapa setiap karya bambu disana punya detail yang sangat rumit tapi juga punya
ruang cukup besar, bahkan satu ruang bisa muat untuk 5 sampai 10 orang. Kalau belum, coba mampir, banyak spot bagus yang
bisa dijadikan untuk objek selfie, sampai akhir bulan ini. GRATIS!
2 komentar:
Wah, baru tahu ada pameran bambu di Solo :)
Iya Mba, baru diadakan 2 kali :)
Posting Komentar