#brewingeverywhere, Rio Dewanto dan Kopi 5000an


Saya tidak tahu bagaimana awalnya saya bisa suka kopi. Kalau dirunut-runut, seingat saya, dulu, saya tidak pernah punya gebetan yang maniak kopi hingga mengharuskan saya untuk mengikuti kesukaannya demi menjaga frekuensi agar tetap satu gelombang dengannya. Atau pacar? Seingat saya juga, dulu, saya tidak pernah punya pacar yang suka kopi, karena saya memang tidak pernah punya pacar. LOL. 
Eh, pernah ding sekali, tapi (sepertinya) bukan maniak kopi juga.

Saya juga tidak tahu, kenapa hukum “kopi bikin melek” tidak berlaku pada sistem tubuh saya. Pola tidur saya tetap tidak berubah meskipun habis bergelas-gelas kopi. Kalau ngantuk, ya sudah ngantuk saja, tidak bisa dicegah dengan kopi sebanyak apapun. Kecuali bubuk kopi ditaburkan ke mata, atau biji kopi dicolokin ke retina, akan lain ceritanya.

Dua bulan belakangan, saya rajin sekali minum kopi hitam. Awalnya sepele, hanya karena melihat stok kopi instan yang masih banyak tapi sudah mendekati expired. Padahal harga per bungkusnya cuma 7000an, tapi eman-eman. Ya sudah, saya bikin sedikit-sedikit (rencananya) sampai habis. Belum sampai habis, sudah dapat stok yang baru. Oleh-oleh teman dari Bengkulu. Ya, kopi Bengkulu. Kadar rajin ngopi semakin meningkat.

Sampai pada saat beberapa waktu lalu, saya jalan dengan teman baru, di Kota Lama, Semarang. Zakia namanya. Kami kenal dari kolom komentar di blog ini, pada postingan soal kopi. Kebetulan dia penyuka kopi juga. Pas jalan, saya sedang asyik memfoto sana dan memfoto sini karena di Kota Lama saat itu sedang ada event pameran biennale. Sekelebat ada seorang Bapak menuntun sepeda yang di boncengannya terdapat kotak seperti penjual es.

Pict by Zakia
Saya mengabaikan, sampai Zakia bergumam, “brewing everywhere,” sambil membaca stiker yang nempel di sepeda si Bapak. “Itu jualan kopi ya Mba?” tanyanya kepada saya yang pandangannya masih belum lepas dari kamera. Lalu saya menoleh ke si Bapak, “iya deh kayaknya.” Tanpa komando, kami langsung menghampiri si Bapak dan percakapan pun terjadi. Ada satu hal esensial yang tidak saya suka dari diri saya, yaitu, sering lupa menanyakan nama kepada orang asing jika sudah terlibat pada obrolan yang menyenangkan. Ya sudah, kita panggil saja beliau, Bapak Kopi.


Stiker dengan gaya hashtag di atas cukup menarik perhatian saya dan Zakia. Tanggal 1 Oktober 2016 kemarin, di Semarang ada event peringatan International Coffee Day di Setos. Nah, Bapak Kopi dapat stiker itu dari event ini.

“Saya diundang kesana. Ketemu sama artis siapa itu namanya, yang pinter bikin kopi. Saya dikasih topi ini. Terus juga dikirimi lagi 3 macem topi sama kayak gini,” katanya dengan senyum bangga sambil menunjuk topi yang dipakainya. Artis yang dimaksud adalah Rio Dewanto.


Segini Rp 5.000,00
Jadi, kopi yang dijual Bapak ini bukan kopi yang diseduh di tempat, tapi biji kopi yang dijual utuh dengan jasa giling. Bisa beli biji kopinya saja, bisa tambah jasa giling dengan harga sama. Setiap 1 ons biji kopi, dihargai Rp 5.000. Kopi yang dijual adalah Kopi Temanggung. Karena digiling pakai grinder manual, jadi lumayan lama nungguinnya. Sembari menunggu, kami mengobrolkan banyak hal. Mulai dari asal Bapak yang dari Tegal dan sudah puluhan tahun jualan kopi, sampai menceritakan bagaimana “juragan”nya begitu idealis dalam menjual kopi.


Aroma kopinya.... Hmmm.... Robusta... Kecium kemana-mana, mengundang bapak-bapak di sekitar jadi ikutan nimbrung dan suasana berubah menjadi seperti penjual sarapan pagi-pagi yang dikerumuni ibu-ibu sambil ngegosipin apapun. Bedanya, kali ini yang bergosip adalah bapak-bapak, dengan 2 anak gadis (saya dan Zakia), berada di antara mereka. Apa yang mereka bicarakan? Ya tentu saja masalah kopi, tentang campurannya, tentang makanan pendampingnya, kapan waktu yang pas untuk menyeduhnya. Tidak ada pembicaraan berat seperti menyoal ribut-ribut pilkada. Ringan tapi merekatkan. Tidak tendensius.

Di rumah, saya coba bikin satu cangkir. Tanpa campuran, kecuali gula. Ampasnya cukup oke buat dicemilin. Hasil manual grinder pasti lah tidak akan semulus mesin giling,  teksturnya jadi gede-gede. Aromanya juga segar, di mulut terasa seperti merekah, blooming. Si Zakia juga bilang, kopinya enak dan bikin ketagihan. Padahal beberapa waktu lalu dia cerita ke saya, sedang berusaha mengurangi konsumsi kopi hitam. Hahaha... Kalau masih merasa nyaman, jangan sengaja menghindar, Zak!

Sampai postingan ini diterbitkan, kopi yang saya dapat dari Rio Dewanto, ehm, maksud saya, kopi yang saya dapat dari Bapak yang dikasih topi sama Rio Dewanto, masih bisa diseduh untuk 3-4 cangkir. Mau join?

Emma

2 komentar:

Zakia Maharani mengatakan...

Hahaha, thankssss udah mau maunya nemuin aku di Semarang di sela kesibukan kamu yaaa mbaak.
Daaann.. makasih untuk bukunya Otherspace, masuk dalam antrean buku yg bakal aku baca setelah Lelaki Harimau-nya Eka Kurniawan. Next time main ke Solo ah. Nyobain Kopi Solo kek yang ada di postblognya mbak Emma yg pernah aku komen.

bytheway~ I noted this Hahahaha:
"Kalau ngantuk, ya sudah ngantuk saja, tidak bisa dicegah dengan kopi sebanyak apapun. Kecuali bubuk kopi ditaburkan ke mata, atau biji kopi dicolokin ke retina, akan lain ceritanya."

See yaaaa next time mbaaak~ :*

Emma mengatakan...

Pokoknya aku masih nungguin kamu buat ke Solo loh yaaa... Ditungguin juga ama Yellow Truck :*