Tidak Bermaksud Off-Road




Menemukan hal-hal di luar dugaan selama perjalanan, itu menambah kesan yang lebih kena ketika kita mengunjungi suatu destinasi. Seperti beberapa waktu lalu. Dalam rangka merayakan status baru sebagai pengangguran setelah resign, saya kepengin jalan-jalan sepuasnya. Tipis ga papa yang penting sering :D

Setelah ada obrolan dengan teman tentang Merapi, kami sepakat untuk mengunjunginya. Bukan Merapi yang sering dipakai untuk lava tour sih. Tepatnya di Deles Indah, masuk wilayah Klaten.

Sebelum ke tujuan kami mampir dulu jemput temen. Cuaca lumayan gloomy, antara mendung dan panas. Kira-kira jam 10.30 kami start dari Klaten Kota. Di dalem mobil, mereka membicarakan rute, enaknya lewat mana, jalan pintas yang cepet dan less traffic. Pembicaraan yang membuat saya roaming abis, karena sama sekali nggak ngerti jalanan Klaten.

Kami memutuskan lewat jalur yang diprediksi lebih dekat. Iya memang (sepertinya) lebih dekat, tapi tidak lebih sepi. Di jalan, kami banyak berpapasan dengan truk tambang pasir, batu, dsb. Padahal lebar jalan tidak memadai untuk simpangan 2 buah roda empat. Mau tidak mau harus sebentar-sebentar berhenti buat gantian kasih jalan.

Setelah lewat jalur truk, jalanan semakin masuk ke desa, sempit, berbatu dan berkelok-kelok. Teman saya bilang dulu pernah kesini tapi dengan sepeda motor, dia tidak yakin apakah mobil bisa naik sampai atas. Ahemm…

Dan benar saja. Lebar jalan passss banget dilewati satu mobil. Kayaknya sih emang nggak diperuntukkan buat lewat roda 4. Lebih kayak jalan trail. Bahkan selama kami lewat, ga ada satu pun ketemu sama motor. Ha!

Duduk di depan membuat saya beneran tegang. Lihat kondisi jalan yang parah banget. Sampai tiba lah kami pada sebuah persimpangan jalan yang ga ada jalannya. Iya beneran ga ada jalannya. Hilang. Patah. Satu-satunya cara biar bisa tetep lewat adalah dengan menyusun batu-batu sebagai penghubung, dipasin sama ban mobil.

Pakbapak kerja bakti

Karena mereka minta didokumentasikan, jadinya saya ga bantuin angkat-angkat batu dong ya. Excuse. Setelah susunan batu udah siap pakai, in action. Dengan aba-aba tepat sasaran, mobil mulai bergerak, pelan-pelan. Saya turut serta ketir-ketir, takut bebatuannya tiba-tiba mblesek, atau ban mobilnya meleset dan perasaan-perasaan was-was lainnya. Lumayan tahan nafas sambil videoin.


As you see, eksekusi berjalan mulus. Sungguh, saya terkagum-kagum dengan kemampuan nyetir temen saya ini! Rasanya udah kayak pengen kasih standing applause sambil throwing confetti. Namun, atas nama gengsi demi menjaga ke-keren-an biar keliatan tetep cool, saya cuma videon sambil senyum dan bilang, “wehee.. lulus dong!”.

Setelah melewati those unpredictable road, kami masih harus melewati jalan setapak yang sama sekali nggak proper buat lewat mobil. Nanjak, sempit, berbatu. Sampai nggak sempet ambil gambar saking sibuknya berdoa.

Sampai di tujuan. Saya menemukan view yang super breath taking. Penyakit nggumunan saya kambuh, nggak bosen-bosennya bilang, “wah… apik” (bagus). Ya maklum, lama nggak ke dataran tinggi, sekalinya ketemu langsung heboh.




Pemandangan yang kayak gini lebih enak dinikmati dengan mata telanjang. Lebih indah dilihat langsung daripada difoto. Apalagi lihatnya sambil ngopi dan ngemil mendoan anget. Bisa nggak pulang.

Selain view, warga sekitar juga cukup kreatif pasang board dengan aneka ragam himbauan menarik yang bikin geli-geli gimana gitu :D

Hayoloh....

Maksudnya jangan coret-coret po'on, gitu?

Ehm... Ngomong-ngomong soal setir, setiap pergi-pergi bareng keluarga, saya sering mengamati Bapak yang sedang nyetir. Kadang juga sambil jelasin ini itu bab setir. Otomatis, sebagai anak perempuan yang (sok) berbakti kepada orang tua, saya menempatkan Bapak sebagai pria dengan keahlian nyetir paling mumpuni di mata saya. Tapi ya emang sih, beberapa sopir ex-kantor juga belum ada yang nyetir seenak Bapak.

Tapi setelah piknik yang ga sengaja offroad ini, kedudukan Bapak jadi tergeser. Temen saya ternyata nyetirnya lebih jago, selain enak juga santai. Tricky nya dapet. Patah-patahnya asik. Nanjak-nikung juga oke. Tapi ya… segimana jagonya temen saya, saya masih tetep menempatkan Bapak sebagai juara sih, biar ga dikira anak durhaka.

Setelah selesai ritual motoin manusia, landscape beserta lego, kami turun sekitar jam 12.30. Tentu saja tidak melewati jalur yang sama, pakai jalur umum. Waktu di pos retribusi, penjaganya ngeliatin kami terus dengan muka bengong dan mikir, “Perasaan tadi ga ada mobil naik, kok tiba-tiba ada yang turun?”

Just believe in miracle, Sir…

Emma

2 komentar:

Fransisca Williana Nana mengatakan...

Ngeliat yang dingin-dingin begitu jadi kangen gunung aduh. Pasti seru ya ngerasain dingin-dinginya itu, jadi mau hehe :')

Emma mengatakan...

Pengen dingin-dingin ga harus ke gunung kok Mba Na.. Masuk kulkas bisa jadi alternatif :D