Sekaten dan Gengsi

Terlepas dari omongan-omongan negatif tentang Sekaten, akulturasi nilai, penggerusan makna, or whatever. Pure just wanna share a story.




“Kembang kantil’e wuk, monggo… Kersane ayu…” (bunga kantilnya, nak. Biar cantik) kata nenek-nenek yang duduk di bawah pohon di pelataran Masjid Agung sambil menata bunga kantil, tembakau dan daun sirih di atas tenggoknya

Ini adalah pertama kalinya saya berbaur kembali dengan hiruk pikuk Sekaten setelah kira-kira 14 tahun tidak pernah menjamahnya, kecuali hanya lewat di jalan sekitar Keraton Kasunanan Surakarta dengan umpatan tanpa jeda karena jalan macet akibat pejalan kaki (pengunjung Sekaten), becak dan para pedagang di pinggiran, juga kereta kelinci.

“Mboten Mbah, maturnuwun. Kula sampun ayu oq…” (makasih nek, saya udah cantik kok) Saya menjawab dengan senyum bergurau sambil mengelap keringat dan berlalu tanpa berhenti sebentar pun.

Atmosfer yang saya rasakan ketika pertama kali menginjakkan kaki di pelataran Masjid Agung kali ini, benar-benar beda dari hanya sekedar atmosfer pasar. Seperti dejavu. Terasa ada beberapa tokoh –yang entah itu siapa saja- menyambut saya, “Hai teman, selamat datang kembali. Sudah lama sekali ya kita tidak bertemu.” Lalu berkisah, “Kamu ingat tidak sama mainan pecut itu? Trus kamu pernah makan bakso disana kan? Nah disana juga, kamu suka sebel kalau diajak lihat gamelan.” Ya, sounds like a guide of a past. Dan faktanya memang seperti itu, pelataran ini masih sama dengan ketika saya masih berumur tujuh tahun. Jadi bukan suatu hal yang perlu diherankan jika saya begitu mudahnya berpapasan dengan masa lalu, bahkan terlibat di dalamnya.

“Nggih neknu kersane tambah ayu…” (kalau gitu biar makin cantik) lanjut si nenek, tidak mau menyerah begitu saja merayu manusia bebal menyebalkan macam saya.

“Kagem Sibune, kersane awet enem,” (buat ibunya, biar awet muda) sasaran si nenek berpindah haluan dari gadis menuju ibu-ibu, dari saya menuju tante saya. Dan hasilnya sama saja, boro-boro menanggapi, menoleh saja tidak, ternyata tante saya lebih kejam daripada saya.

“Hahaha… Trus apa coba hubungannya kembang kantil sama awet muda?” Iya, saya sempat menertawakan sesuatu yang tidak sepantasnya saya tertawakan.

“Ya itu kan cuma mitos, Ma. Kalau pakai bunga kanthil jadi makin cantik, kalau makan daun sirih bikin awet muda. Beli telur asin (endhog amal : jawa) biar bisa beramal terus, itu cambuk (pecut : jawa) juga, buat mecutin orang-orang yang ga mau sholat,” kata tante.

Oh, Jadi ternyata semua yang dijual di pelataran ini punya mitos sendiri-sendiri. Ironis! Sebagai orang Solo ASLI, saya baru tahu tentang cerita-cerita itu.

Sesampainya di rumah, saya iseng browsing sana-sini-sono, pengen tahu tentang mitos-mitos dagangan yang dijual di pelataran Masjid Agung itu. Hasilnya ini :

  • Sirih dan Perlengkapannya. Banyak yang percaya, siapa yang mengunyah sirih pada saat pertama kali gamelan dibunyikan, orang tersebut akan awet muda. Bila ditilik secara medis, sirih memiliki kemampuan untuk memberi zat yang bermanfaat bagi tubuh dan penguat gigi.
  • Telur amal / telur asin. Telur amal / asin biasa dijual diarena stand sekaten, disini dipercaya oleh masyarakat kalau membeli telur asin maka kita memberi amak pada pembeli, juga segala amal kebaikan kita diterima oleh Tuhan
  • Pecut dan Ani-ani. Pecut dipercaya dapat mengusir hama tanaman dan roh jahat yang berusaha menyerang ternak dan tanaman. Pecut juga bermakna sebagai semangat untuk berbuat lebih baik. Ani-ani adalah alat untuk mengetam atau memanen padi yang bermakna harapan dan keberhasilan panen. Mitos ini hanya melambangkan kegiatan kehidupan agar selalu bekerja keras dan berbuat hal yang baik agar memetik hasil yang lebih baik
Dan ternyata tante saya rada-rada sotoy, terbukti ada beberapa yang dibikin-bikin sendiri arti mitosnya. Yah, daripada ga tau sama sekali kayak saya =)
Awalnya, waktu mau masuk ke gerbang alun-alun setelah memarkirkan motor, saya sempat nyengir geli liat orang-orang yang dalam cuaca panas-hujan-nggak-bisa-diprediksi kayak gini begitu antusias dan bergairah. Ibu-ibu dengan anak kecil digendongannya, sepasang kakek-nenek, anak sekolah yang ngejadiin Sekaten buat tempat gandengan tangan, anak-anak muda seumuran saya yang berjalan cekakak-cekikik bergerombol yang salah satunya berkalung SLR (how poor I am, jalannya sama tanteh-tanteh beranak limataon). Intinya saya amat sangat malas sekali jika ada orang yang mengajak saya ke sekaten. Sampai pada akhirnya mata saya menjadi blin-blink ketika lihat tulisan “obral tas 15.000”, setelahnya langkah saya menjadi ringan, entah kenapa, padahal minat beli juga enggak.

Next, ini adalah bagian yang paling saya benci. Keponakan saya merengek naik kincir atau apalah namanya, pokoknya mainan yang muter-muter dari bawah ke atas trus ke bawah lagi, bentuknya kayak kincir angin. Dan tante saya juga ikut merengek-rengek suruh saya ikut naik. Asli panik bukan main waktu itu kincir mulau bergerak ke atas. Besi-besinya yang udah pada karatan, suara gesekan entah yang berderit bikin gatal telinga, ditambah mesin diesel yang memprihatinkan, itu semua membuat saya tidak yakin bisa bertahan hidup di putaran kedua *lebe*. Dan benar saja, entah di putaran berapa saya lupa, diesel tiba-tiba ngadat, sedangkan posisi saya berada di tempat paling atas, paling puncak.

“God, please save me from the hell!”

Sementara keponakan saya cengengesan nggak jelas, tante dan saya nggak habis-habisnya panik. Saya semakin bergetar hampir demam dan muntah-muntah, keringat dingin juga mimisan *lebelagi* waktu ada angin yang lumayan gede nyemprot ke tempat duduk kami, bergoyanglah, dan memohon ampunlah saya kepada Yang Kuasa. Ya, badai pasti berlalu, saat-saat menegangkan itu berlalu seiring perkembagan zaman :lol:. Setelah saya analisa, saya menemukan penyebab terancamnya nyawa saya, yaitu tiket yang cuma gocengan =D

Satu pelajaran yang bisa saya ambil dari sini bahwa Gengsi merupakan awal dari lunturnya kebudayaan.

Emma

Related Posts:

Tidak ada komentar: